Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya pilu setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya.
Satu jam sudah Sri Utami berada di gubuk itu menanti hujan reda. Ia harus singgah ke tempat itu agar tak basah kuyup saat menjumpai murid-muridnya di pedalaman Boalemo, Gorontalo, Sulawesi Tengah.
Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang.
-- Sri Utami
Saat hujan turun, Sri baru berjalan sekitar satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan lagi yang menantinya. Perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai.
Begitulah kisah Sri berawal. Gubuk beratap rumbia dan tanpa tempat duduk itu selalu menjadi penolongnya saat kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, Sri juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.
Sri adalah seorang guru yang mengajar di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi "musuhnya", karena Sri terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur.
"Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba," ujar perempuan berjilbab itu tersenyum.
Tak sanggup
Sri, perempuan asli Surabaya, Jawa Timur, itu terlihat sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan. Jangankan membeli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup.
Diakui Sri, putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya. "Itupun karena biayanya hasil patungan sanak saudara di sana. Sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang," ungkapnya.
Gaji dua ratus lima puluh ribu yang diterimanya setiap bulan hanya habis untuk makan. Sri dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, belum bisa berbuat banyak untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang lebih tinggi.
Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa menghasilkan banyak uang. Ia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik saat usianya baru menginjak dua puluh tahun.
Berakhir di ladang
Sri adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1984. Ia mengawali tugasnya di SD Al Jihad, Surabaya. Saat itu, gajinya hanya lima belas rupiah.
Selama mengajar, Sri juga memberanikan diri kuliah di Universitas Tri Tunggal, Surabaya, meski gajinya tentu tak cukup untuk itu. Beruntung, Sri selalu menerima beasiswa dan akhirnya sukses meraih gelar sarjana.
Setelah menikah, pada 2004 Sri memilih ikut suaminya ke Lampung. Di tanah Sumatera itu hidupnya tak menjadi lebih baik. Ia mengajar tujuh mata pelajaran dengan imbalan seratus tujuh puluh ribu rupiah. Kala itu, penghasilannya dari mengajar tersebut hanya cukup untuk membeli sekarung beras.
Tak ingin hidup kekurangan berlama-lama, pada 2009 lalu Sri dan suaminya menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo. Meski di daerah terpencil, Sri pun masih ngotot menjadi guru abdi. Baginya, mengajar adalah nadinya.
Pernah, Sri berpikir dan mencoba untuk berhenti saja menjadi guru dan terjun sebagai buruh tani. Namun, sehari pun ia tak bisa melakukannya karena Sri mengaku terlanjur cinta pada dunia pendidikan. Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Sri tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.
Kegigihan Sri sebagai guru abdi menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.
Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya pilu setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya.
"Saya sibuk mengajar, sedangkan anak saya tak bisa sekolah," ucapnya lirih.
Di sisi lain, di usianya yang kini menginjak 46 tahun, harapan Sri menjadi Pegawai Negeri Sipil pun tertutup sudah. Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Pun, harapan supaya besaran gajinya kelak akan layak, untuk mengubah nasib putranya agar tak berakhir di ladang.
sumber : http://edukasi.kompas.com/
Sunday, June 27, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment